Kamis, 01 Mei 2014

PENDIDIKAN DALAM AJARAN MARX DAN IGNASIUS LOYOLA


(Guido Purba. Mei, 2014)
Pendidikan di Negara kita saat ini hanya cenderung menjadi sarana stratifikasi social di lingkungan masyarakat dan pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Menurut Marx dalam buku Metode Pendidikan Marxis- Sosialis ini, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis, bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis yang merupakan langka adaptasi terhadap perkembangan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan. Belajar diharapakan bisa membangkitkan peserta didik keluar dari tekananan kelas yang tidak memihak karena Marx merupakan pemikir yang mengemukakan tentang kapitalisme pendidikan.
 Secara historis, bibit kapiatalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto (Orde Baru). Ketika itu, yang menjadi panglima (ideologi) pendidikan adalah “pembangunan” (developmentalisme). Pertumbuhan pembangunan dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, Identitas lembaga pendidikan pun sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung dan lembaga pendidikan tempat mendidik saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-sebanyaknya. Status birokrat kampus, Rektor dan staf-stafnya, tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus mendapatkan laba sebesar-besar dari peserta didik.
Institusi pendidikan hari ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya, kalau pasar menjual bahan sembako domistik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, sementara perguruan tinggi menjual jasa pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (Dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang serba glamur dan seper canggih. Kampus akan melakukan apa saja, termasuk memper-“solek” lingkungan demi merekrut peserta didik sebanyak-banyaknya. Karena, semakin banyak kuantitas peserta didik, semakin besar penghasilan kampus.
Pragmatisme dan kapitalisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan. Jelas, kalau pola pikir pragmatisme dan kapitalisme menghinggapi anak didik, bisa dipastikan anak didik tidak mungkin lagi peka terhadap bobroknya realitas kebangsaan, apalagi berjuang dan melakukan advokasi terhadap pemberdayaan kaum-kaum marjinal (tertindas). Pendidikan harus bisa memberikan pengalaman dan harus menjadi wahana kritis yang berdsarkan sikap refleksi, aksi dan evaluasi.
Menurut Paradigma Pedagogi Ignasian tentang refleksi, aksi dan evaluasi merupakan proses dengan mana mendorong daya kritis mereka terhadap apa yang ada di hadapan di dunia dan  membuat pengalaman belajar menjadi miliknya (apropriasi), memperoleh makna dan arti dari pengalaman pembelajaran untuk dirinya sendiri dan yang lain. Pedagogi Ignasian melukiskannya. ”Dengan refleksi kita maksudkan pertimbangan mendalam mengenai bahan, pengalaman, gagasan, tujuan atau reaksi spontan, dengan maksud untuk meresapkan signifikansinya secara penuh. Maka refleksi itu merupakan proses dengan mana makna menjadi kentara dalam pengalaman manusia.  Pada tahap ini, ingatan, pemahaman, imajinasi dan perasaan digunakan untuk menangkap  makna dan nilai hakiki dari apa yang sedang dipelajari, untuk menemukan hubungannya dengan aspek-aspek lain dari pengetahuan dan aktivitas manusia, dan untuk menghargai dalam pencarian yang terus menerus akan kebenaran dan kebebasan. Sehingga Mahasiswa mampu mengintegrasikan makna bertanggung jawab yang tumbuh sebagai pribadi yang kompeten, sadar dan bela rasa (competence, conscience and  compassion)
Tindakan itu bukan sekedar aktivitas, melainkan memuat sikap, prioritas, komitmen, kebiasaan, nilai-nilai, idealitas, pertumbuhan internal dari manusia sehingga dia bertindak bagi orang lain. Istilah ‘aksi’ merujuk pada pertumbuhan internal manusiawi berdasar pada pengalaman yang juga sudah direfleksikan sebagai manifestasi eksternalnya. Aksi meliputi dua langkah (i) Pilihan-pilihan yang diinternalisir; (ii) Pilihan-pilihan yang dinyatakan secara eksternal. Ignasius tidak hanya mencari tindakan atau keterlibatan sembarang melainkan, sementara menghormati kebebasan manusiawi..
Akhirnya evaluasi mengenai perkembangan mahasiswa dalam penerimaan tujuan-tujuan sekolah dan tujuan mahasiswa sendiri. Sekali lagi dari Pedagogi Ignasian tertulis : “Namun, Pedagogi Ignasian, mengarah pada pembentukan, yang tidak hanya menyangkut tetapi juga melampaui keahlian akademik semata. Dalam hal ini kita berkepedulian menyangkut pertumbuhan mahasiswa yang menyeluruh sebagai pribadi bagi yang lain (persons for others). Jadi evaluasi periodik dari pertumbuhan mahasiswa dalam sikap, prioritas dan tindakan-tindakan, konsisten dengan pribadi bagi yang lain dan lainnya sebagai esensial.”
Jadi Paradigma Refleksi, aksi dan evaluasi seharunys menjadi dasar pemikiran seorang belajar memahami hidup dan memperoleh kebebasan. Dalam kondisi masyarakat yang siswa hadapi merupakan wahana aktualisasi siswa untuk memberikan perubahan sosial. Lewat pembelajaran siswa diharapakan mampu mempunyai sikap sosial yang tinggi di lingkungan masyarakat dan pengajar diinstitusi pendidikan harus mengajarkan pembebasan, menumbuhkan kesadaran kelas, dan membangkitkan perlawanan terhadap kaum borjuis dan Peserta didik harus memahami dunia yang tidak akan menjadikannya keluar dari belenggu kecuali dia yang memaknai dunia ini sebagai ajang untuk berjuang, maka mereka di tuntut untuk menjalani dunia yang tepat dan jangan sampai lengah. Kenyataan Sebaliknya, yang ada dalam benak anak didik hanyalah bagaimana anak didik cepat mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh profesi yang bergengsi. Sebuah ironi ditengan bobroknya realitas kebangsaan diberbagai level.
Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini. Tidak bisa dibantah, 75 % orentasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi), menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali pelajar yang betul-betul murni untuk memperjuangkan nasib kaum tertindas. Wajar, kalau keberadaan kaum terdidik di negara ini sudah tidak lagi menjadi aktor pemberdayaan kaum tertindas (the oppressed) dari belenggu penindasan dan ketidak adilan (dehumanisasi). Sebaliknya, justru kaum terdidiklah yang menjadi biang dari sekian problem sosial yang berlangsung ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih mau mencari penawar atas sekian krisis sosial, keberadaan kaum terdidik menjadi bagian dari krisis sosial itu sendiri. Mulai dari koruptor, penjilat, politikus busuk, sampai komprador atau agen dari kepentingan global.


0 komentar:

Posting Komentar

 

UMAKA UNSOED

Unit Kegiatan Mahasiswa Katolik UNSOED

UNSOED

UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN PURWOKERTO