(Guido Purba. Mei, 2014)
Pendidikan
di Negara kita saat ini hanya cenderung menjadi sarana stratifikasi social di
lingkungan masyarakat dan pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer
kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan
yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari
akar sumbernya maupun aplikasinya.
Menurut
Marx dalam buku Metode Pendidikan Marxis-
Sosialis ini, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis, bukan
pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme.
Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
praktis yang merupakan langka adaptasi terhadap perkembangan kapitalisme
merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan. Belajar
diharapakan bisa membangkitkan peserta didik keluar dari tekananan kelas yang
tidak memihak karena Marx merupakan pemikir yang mengemukakan tentang
kapitalisme pendidikan.
Secara historis, bibit kapiatalisme dan
pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto (Orde
Baru). Ketika itu, yang menjadi panglima (ideologi) pendidikan adalah
“pembangunan” (developmentalisme). Pertumbuhan pembangunan dikejar
habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, Identitas lembaga
pendidikan pun sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir
atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung dan lembaga pendidikan
tempat mendidik saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan
instrumen memanusiakan manusia (humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi
para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial
sebanyak-sebanyaknya. Status birokrat kampus, Rektor dan staf-stafnya, tidak
ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus mendapatkan laba
sebesar-besar dari peserta didik.
Institusi
pendidikan hari ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya, kalau pasar menjual
bahan sembako domistik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, sementara
perguruan tinggi menjual jasa pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (Dosen),
mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang serba glamur dan
seper canggih. Kampus akan melakukan apa saja, termasuk memper-“solek”
lingkungan demi merekrut peserta didik sebanyak-banyaknya. Karena, semakin
banyak kuantitas peserta didik, semakin besar penghasilan kampus.
Pragmatisme
dan kapitalisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan.
Jelas, kalau pola pikir pragmatisme dan kapitalisme menghinggapi anak didik,
bisa dipastikan anak didik tidak mungkin lagi peka terhadap bobroknya realitas
kebangsaan, apalagi berjuang dan melakukan advokasi terhadap pemberdayaan
kaum-kaum marjinal (tertindas). Pendidikan harus bisa memberikan pengalaman dan
harus menjadi wahana kritis yang berdsarkan sikap refleksi, aksi dan evaluasi.
Menurut
Paradigma Pedagogi Ignasian tentang refleksi, aksi dan evaluasi merupakan
proses dengan mana mendorong daya kritis mereka terhadap apa yang ada di
hadapan di dunia dan membuat pengalaman
belajar menjadi miliknya (apropriasi), memperoleh makna dan arti dari
pengalaman pembelajaran untuk dirinya sendiri dan yang lain. Pedagogi Ignasian
melukiskannya. ”Dengan refleksi kita maksudkan pertimbangan mendalam mengenai
bahan, pengalaman, gagasan, tujuan atau reaksi spontan, dengan maksud untuk
meresapkan signifikansinya secara penuh. Maka refleksi itu merupakan proses
dengan mana makna menjadi kentara dalam pengalaman manusia. Pada tahap ini, ingatan, pemahaman, imajinasi
dan perasaan digunakan untuk menangkap
makna dan nilai hakiki dari apa yang sedang dipelajari, untuk menemukan
hubungannya dengan aspek-aspek lain dari pengetahuan dan aktivitas manusia, dan
untuk menghargai dalam pencarian yang terus menerus akan kebenaran dan
kebebasan. Sehingga Mahasiswa mampu mengintegrasikan makna bertanggung jawab
yang tumbuh sebagai pribadi yang kompeten, sadar dan bela rasa (competence,
conscience and compassion)
Tindakan
itu bukan sekedar aktivitas, melainkan memuat sikap, prioritas, komitmen,
kebiasaan, nilai-nilai, idealitas, pertumbuhan internal dari manusia sehingga
dia bertindak bagi orang lain. Istilah ‘aksi’ merujuk pada pertumbuhan internal
manusiawi berdasar pada pengalaman yang juga sudah direfleksikan sebagai
manifestasi eksternalnya. Aksi meliputi dua langkah (i) Pilihan-pilihan yang
diinternalisir; (ii) Pilihan-pilihan yang dinyatakan secara eksternal. Ignasius
tidak hanya mencari tindakan atau keterlibatan sembarang melainkan, sementara menghormati
kebebasan manusiawi..
Akhirnya
evaluasi mengenai perkembangan mahasiswa dalam penerimaan tujuan-tujuan sekolah
dan tujuan mahasiswa sendiri. Sekali lagi dari Pedagogi Ignasian tertulis :
“Namun, Pedagogi Ignasian, mengarah pada pembentukan, yang tidak hanya
menyangkut tetapi juga melampaui keahlian akademik semata. Dalam hal ini kita
berkepedulian menyangkut pertumbuhan mahasiswa yang menyeluruh sebagai pribadi
bagi yang lain (persons for others). Jadi evaluasi periodik dari pertumbuhan
mahasiswa dalam sikap, prioritas dan tindakan-tindakan, konsisten dengan
pribadi bagi yang lain dan lainnya sebagai esensial.”
Jadi
Paradigma Refleksi, aksi dan evaluasi seharunys menjadi dasar pemikiran seorang
belajar memahami hidup dan memperoleh kebebasan. Dalam kondisi masyarakat yang
siswa hadapi merupakan wahana aktualisasi siswa untuk memberikan perubahan
sosial. Lewat pembelajaran siswa diharapakan mampu mempunyai sikap sosial yang
tinggi di lingkungan masyarakat dan pengajar diinstitusi pendidikan harus
mengajarkan pembebasan, menumbuhkan kesadaran kelas, dan membangkitkan perlawanan
terhadap kaum borjuis dan Peserta didik harus memahami dunia yang tidak akan
menjadikannya keluar dari belenggu kecuali dia yang memaknai dunia ini sebagai
ajang untuk berjuang, maka mereka di tuntut untuk menjalani dunia yang tepat
dan jangan sampai lengah. Kenyataan Sebaliknya, yang ada dalam benak anak didik
hanyalah bagaimana anak didik cepat mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh
profesi yang bergengsi. Sebuah ironi ditengan bobroknya realitas kebangsaan
diberbagai level.
Apa
yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar
bangsa ini. Tidak bisa dibantah, 75 % orentasi pelajar menuntut ilmu adalah
untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi), menjadi tokoh populer, menjadi
orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya di tengah-tengah masyarakat.
Sedikit sekali pelajar yang betul-betul murni untuk memperjuangkan nasib kaum
tertindas. Wajar, kalau keberadaan kaum terdidik di negara ini sudah tidak lagi
menjadi aktor pemberdayaan kaum tertindas (the oppressed) dari belenggu
penindasan dan ketidak adilan (dehumanisasi). Sebaliknya, justru kaum
terdidiklah yang menjadi biang dari sekian problem sosial yang berlangsung
ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih mau mencari
penawar atas sekian krisis sosial, keberadaan kaum terdidik menjadi bagian dari
krisis sosial itu sendiri. Mulai dari koruptor, penjilat, politikus busuk,
sampai komprador atau agen dari kepentingan global.
0 komentar:
Posting Komentar